TENTARA NASIONAL INDONESIA: DARAH PENGABDIAN DAN PENGABDIAN BERDARAH

Sekian tahun mengawal Negara dan Bangsa, dengan penuh liku-liku sejarah yang tidak akan pernah dihilangkan, tidak akan dapat disembunyikan, TNI merupakan bagian dan komponen-kekuatan yang esensial bangsa Indonesia. Perkembangan Tentara Nasional Indonesia tidak lepas dari naik turunnya gejolak politik Indonesia kian menguatkan pernyataan bahwa Perang adalah kelanjutan diplomasi yang buntu. Sukarno menyatakan pada pidatonya “Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Putung” (17 Agustus 1946) bahwa perang terjadi karena diplomasi tidak dilakukan. Maka, pada hakekatnya tentara harus dimiliki oleh diplomat, politisi. Tanpa tentara seorang politisi tidak memilki tekanan politik yang lengkap.


Tetapi fenomena di Asia Tenggara memang berbeda. Pergolakan politik yang diwarnai munculnya Tentara ke pentas politik dengan serdadunya tidak hanya terjadi di Myanmar, tetapi terlebih dahulu muncul di Indonesia, Kamboja, Vietnam, Filipina, dan juga Thailand. Dan menariknya, dari seluruh Negara Asia Tenggara, yang tidak pernah terjadi junta militer hanyalah Negara-negara persemakmuran.

TNI, dikatakan mulai “membangun kekuatan politik sendiri” sejak agresi militer tahun 1948 yang menyebabkan Panglima Besar Jenderal Sudirman terlibat “perselisihan” dengan Presiden (Bung Karno). Pasalnya Bung Karno dinilai tidak konsekuen karena pernah berkata tidak akan menyerah kepada Belanda jika terjadi agresi militer. Bung Karno memang menyerah sebagai civilian saat itu, bukan sebagai seorang Presiden karena pemerintahan telah diserahkan kepada PDRI di Bukittinggi yang dipimpin Sjarifuddin Prawiranegara. Sudirman menilai tindakan tersebut tidak ksatria, karena seharusnya Bung Karno memimpin gerilya bersamanya.

Pukulan kedua politisi kepada TNI adalah rasionalisasi anggota TNI yang dilakukan beberapa kali, terutama pada pasca perang kemerdekaan. Tindakan tersebut mendorong para pahlawan Kemerdekaan mengakhiri hayatnya sebagai pemberontak. Solidaritas yang tinggi diantara para pejuang yang merasa menjadi “Pembebas” Negara dan Bangsa ini sedikit demi sedikit membentuk eksklusifitas tentara dari masyarakat lain.

Dalam perjalanan sejarah berikutnya, politisi ternyata tidak dapat menunjukkan kredibilitasnya dalam memimpin rakyat, memimpin bangsa dan Negara. Disanalah, geliat politik di tubuh TNI menjadi gerakan nyata, terutama dengan keluarnya Dekrit Presiden 1955. Langkah keras Presiden Sukarno membekap politisi lain itu, tidak lain dilatarbelakangi keyakinan beliau bahwa TNI sudah siap di belakangnya. Meskipun demikian, ternyata dalam perkembangannya TNI juga tidak satu suara. Sebagian mendukung mati-matian Sukarno, sebagian malah berbalik karena tidak sepaham dengan kebijakan Sukarno dengan Nasakom-nya. Pada tahun 1965 pecahlah bisul ini, dilanjutkan masa militeristik 32 tahun Suharto, hingga berakhir ditangan era reformasi.

Hegemoni yang tumbuh dan ditumbuhkan adalah doktrin bahwa Indonesia mustahil bertahan zonder tentara (ucapan Jenderal Oerip Soemohardjo). Tetapi juga harus diingat bahwa tentara mustahil bertahan tanpa rakyat dan politisi. Itulah yang menyebabkan Indonesia merdeka; semua bertarung bersama, tidak ada yang paling utama. Jika hanya politisi dan militer saja yang bertarung, mustahil Surabaya dapat bertahan dari 10 November hingga natal 1945, sampai Inggris mengundurkan diri dari Surabaya, dan akhirnya dari Indonesia. Jika hanya politisi dan militer saja yang bertarung, mustahil gerilya bisa dilakukan, mustahil Indonesia benar-benar bisa mempertahankan kemerdekaan. Itu semua terjadi karena politisi memperjuangkan keinginan rakyat, dan untuk itulah politisi menggerakkan militernya.

Maka selayaknya TNI dan politisi saat ini mengambil posisi yang sama dengan rekan seperjuangannya: Rakyat. Darah pengabdian yang didedikasikan terhadap bangsa dan Negara dalam doktrin TNI haruslah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya. Agar tidak lagi terjadi arogansi sektoral, yang akhirnya membutakan sang penyandang senjata siapa lawan yang harus ditembak dan mana saudara yang seharusnya dipeluk. Untuk menyadarkan sang penguasa bahwa tanpa ditumpu kedua rekannya dia takkan dapat menggapai cita-citanya di langit yang tinggi. Untuk membangunkan si pemalas yang hanya mau makan tidur tanpa mau berpikir tentang kehidupan bangsa dan negaranya. Agar darah pengabdian itu bisa member kontribusi dalam pencapaian tujuan/cita-cita bangsa dan Negara, menghentikan pengabdian berdarah yang sudah sekian lama terjadi.