SEMANGAT BERBASIS GENDER : RELASI KOLEKTIF ANTARA PEREMPUAN DAN LELAKI?
Hampir satu kali masa jabatan kekuasaan, dalam hangat-hangat politik menjelang pemilu 2009. Ruang kesetaraan mulai nampak, bermula pada pemilu 2004 lalu. Dimana kaum perempuan telah dikukuhkan keterwakilannya dengan quota 30%. Bukan cuma di situ, malahan dalam ruang publik lainnya, perempuan bermunculan kerap dominan semakin menghiasi layar-layar kaca. Lebih dari satu siaran televisi yang manampilkan wajah perempuan, pembawa-pembawa berita, reporter, apalagi dalam setiap episode sinetron, selain terpampang sebagai model atau bintang iklan.
Keterlibatan perempuan kekinian, telah mampu menjangkau ranah publik dan tak jarang mengantongi kesuksesan, dan popularitas. Yang dirasa kurang, justru kesan mensiplifikasi peran perempuan dengan batasan berpesona dengan kemolekan, atau berparas cantik. Anehnya lagi, terdapat adagium di masyarakat kita yang melekatkan persepsi demikian, dengan realitas modern, global, dan digadang-gadang seturut tuntutan jaman.
Naomi Wolf mengungkapkan bahwa mitos kecantikan perempuan adalah suatu bentuk destruktif dari kontrol sosial dan merupakan reaksi terhadap meningkatnya status perempuan, di mana perempuan kini lebih dihargai dan diperhitungkan secara profesional baik dalam dunia bisnis maupun politik.
Kesan dari pemikiran inilah yang ditangkap oleh kaum pemodal, dan menjatuhkannya pada moda industrialisasi, mengonstruksinya demi pelipatgandaan keuntungan mereka. Terjadi dehumanisaasi perempuan sebagai manusia, menjadi komoditi bernilai jutaan dollar. Mengangkat status perempuan, sekaligus mengemasnya dalam tingkat penindasan yang lebih sistemik. Secara empiris justru dijadikan argumentasi perdebatan klasik, posisi perempuan yang telah teremansipasi, padahal dalam konsep yang telah direduksi.
Lain lagi perempuan di pabrik-pabrik. Dalam angka ketenagakerjaan sekarang ini, prosentasi perempuan terhitung dominan, dibanding kaum lelakinya. Industri, kini lebih memilih perempuan sebagai tenaga terampil, terutama di sektor produksi manufaktur, ataupun sejumlah tenaga buruh migran. Yang dikirimi ke luar negeri.
Percepatan model industri belakangan ini, dimana perempuan tampil menjadi tenaga massal di wilayah produksi formal, kemunculannya bukan berarti tanpa sebab. Problem pengupahan, dan PHK massal merupakan basis relasi yang membidani lahirnya fenomena sistem kerja kontrak, dan outsourching. Di dalam grafik angka pengangguran yang kian membumbung, ketika sejumlah kalangan pengusaha harus berdisiplin dengan hukum besinya, persaingan dan akumulasi modal. Dus, jika kaum buruh perempuan yang bekerja, pengusaha tak perlu memberikan tunjangan lebih, ketimbang mempekerjakan kaum laki-laki sebagai buruh.
Menurut logika dasar kaum kapitalistik di dunia ini, kaum perempuan adalah manusia terlemah yang tak banyak kekuatan untuk menuntut, dan pemberontakannya mudah dipatahkan. Sekalipun kaum perempuan yang bekerja untuk mendapatkan finansial keluarga, tetap saja ia akan kembali pada aktifitas domestiknya dalam rumah tangga. Kapitalisme, tetap membelenggu kaum perempuan dengan terus melanggengkan budaya pemikiran bahwa kaum perempuan seproduktif apapun, adalah mahluk Tuhan nomer dua di muka bumi ini.
Kaum perempuan yang dipekerjakan sebagai buruh sampai sekarang, terbukti masih lebih memikirkan kebutuhan hidup keluarga. Dan kembali lagi pada matarantai kapitalistik, yang mendorong kecenderungan konsumtif. Ciri ini cukup kental melekat pada identitas perempuan sebagai ibu, yang rela melakukan tindakan ekonomis apapun agar bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Dan pada gilirannya, kaum kapitalis lebih banyak menginovasi produk-produk dagangan mereka. Mulai dari pakaian, makanan & minuman, perabotan rumah tangga, emas & berlian, hingga produk-produk mewah yang menarik perhatian sejumlah kaum perempuan supaya terseret pada budaya konsumerisme yang diciptakan kaum kapitalis dewasa ini.
Kebutuhan kolektif
Pada pemandangan lainnya, hubungan lelaki dan perempuan dalam struktur terkecil masyarakat, kehidupan keluarga kerap masih mempertontonkan disharmonisasi struktur fungsi dan peran, masih saling bersinggungan secara merugikan. Terdapat disposisi yang juga akut, dimana peran lelaki masih terbukti mendominasi, tak jarang menumbuhkan patronase perempuan terhadap laki-laki.
Ada baiknya jika uraian di atas paling tidak diperbandingkan dengan puluhan sinetron di banyak televisi kita misalnya, dimana beberapa adegannya menayangkan gaya hidup mewah, ketika mereka mulai berkumpul di meja makan, terlihat seorang pembantu rumah tangga perempuan kebanyakan sibuk melayani majikannya terbungkuk-bungkuk. Banyak cuplikan dari sinetron, ataupun tontotan masyarakat rill sekarang justru menjadikan perempuan di posisi tersubordinasi secara terang-terangan.
Kalau tidak kekerasan dalam rumah tangga, seperti pemberitaan media belakangan ini, penghuni rumah sakit jiwa ikut melonjak drastis dua bulanan ini, seiring menumpuknya beban kaum perempuan dengan pemenuhan kebutuhan dapur yang saling berkejaran.
Memaknai "Gender", sebetulnya bukanlah sebuah pemahaman menjadikan penanda bahwa mesti berkait erat dengan soal perempuan. Namun gender, merupakan produk sistem sosial yang menandakan relasi sosial berbasis jenis kelamin. Artinya terdapat hubungan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dalam sebuah tatanan sosial. Dalam realitasnya, paparan panjang lebar di atas, masih jelas memperlihatkan adanya ketimpangan peran dan posisi lelaki maupun perempuan yang tak lain akibat tekanan ekonomi-politik dari kebijakan pemerintahan yang ditempuh memadu dengan kapitalisme global, sekaligus implikasi warisan budaya jaman lampau.
Ada tiga hal yang perlu dilakukan; Pertama, menempatkan peran dan posisi perempuan serta laki-laki bahwa dalam setiap beban kerja dan tanggung jawab yang ada berdasar nilai-nilai kolektifitas, dan egalitarianisme untuk dipraktekkan. Kedua, baik lelaki ataupun perempuan sama-sama manusia, agar berupaya memperjuangan kebebasan dari belenggu sosial penindasan kapitalisme global. Ketiga, menjadikan kedua hal di atas, melambari keberlanjutan pengubahan konstruksi gender dengan lebih menyandarkan pada kolektifitas peran dan posisi antar jenis kelamin yang berbeda.
------------ --------- --------- --------- --------- --------- -
[1]Penulis adalah Ketua Serikat Buruh Hitec Indonesia (SBHI) Bogor, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
Keterlibatan perempuan kekinian, telah mampu menjangkau ranah publik dan tak jarang mengantongi kesuksesan, dan popularitas. Yang dirasa kurang, justru kesan mensiplifikasi peran perempuan dengan batasan berpesona dengan kemolekan, atau berparas cantik. Anehnya lagi, terdapat adagium di masyarakat kita yang melekatkan persepsi demikian, dengan realitas modern, global, dan digadang-gadang seturut tuntutan jaman.
Naomi Wolf mengungkapkan bahwa mitos kecantikan perempuan adalah suatu bentuk destruktif dari kontrol sosial dan merupakan reaksi terhadap meningkatnya status perempuan, di mana perempuan kini lebih dihargai dan diperhitungkan secara profesional baik dalam dunia bisnis maupun politik.
Kesan dari pemikiran inilah yang ditangkap oleh kaum pemodal, dan menjatuhkannya pada moda industrialisasi, mengonstruksinya demi pelipatgandaan keuntungan mereka. Terjadi dehumanisaasi perempuan sebagai manusia, menjadi komoditi bernilai jutaan dollar. Mengangkat status perempuan, sekaligus mengemasnya dalam tingkat penindasan yang lebih sistemik. Secara empiris justru dijadikan argumentasi perdebatan klasik, posisi perempuan yang telah teremansipasi, padahal dalam konsep yang telah direduksi.
Lain lagi perempuan di pabrik-pabrik. Dalam angka ketenagakerjaan sekarang ini, prosentasi perempuan terhitung dominan, dibanding kaum lelakinya. Industri, kini lebih memilih perempuan sebagai tenaga terampil, terutama di sektor produksi manufaktur, ataupun sejumlah tenaga buruh migran. Yang dikirimi ke luar negeri.
Percepatan model industri belakangan ini, dimana perempuan tampil menjadi tenaga massal di wilayah produksi formal, kemunculannya bukan berarti tanpa sebab. Problem pengupahan, dan PHK massal merupakan basis relasi yang membidani lahirnya fenomena sistem kerja kontrak, dan outsourching. Di dalam grafik angka pengangguran yang kian membumbung, ketika sejumlah kalangan pengusaha harus berdisiplin dengan hukum besinya, persaingan dan akumulasi modal. Dus, jika kaum buruh perempuan yang bekerja, pengusaha tak perlu memberikan tunjangan lebih, ketimbang mempekerjakan kaum laki-laki sebagai buruh.
Menurut logika dasar kaum kapitalistik di dunia ini, kaum perempuan adalah manusia terlemah yang tak banyak kekuatan untuk menuntut, dan pemberontakannya mudah dipatahkan. Sekalipun kaum perempuan yang bekerja untuk mendapatkan finansial keluarga, tetap saja ia akan kembali pada aktifitas domestiknya dalam rumah tangga. Kapitalisme, tetap membelenggu kaum perempuan dengan terus melanggengkan budaya pemikiran bahwa kaum perempuan seproduktif apapun, adalah mahluk Tuhan nomer dua di muka bumi ini.
Kaum perempuan yang dipekerjakan sebagai buruh sampai sekarang, terbukti masih lebih memikirkan kebutuhan hidup keluarga. Dan kembali lagi pada matarantai kapitalistik, yang mendorong kecenderungan konsumtif. Ciri ini cukup kental melekat pada identitas perempuan sebagai ibu, yang rela melakukan tindakan ekonomis apapun agar bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Dan pada gilirannya, kaum kapitalis lebih banyak menginovasi produk-produk dagangan mereka. Mulai dari pakaian, makanan & minuman, perabotan rumah tangga, emas & berlian, hingga produk-produk mewah yang menarik perhatian sejumlah kaum perempuan supaya terseret pada budaya konsumerisme yang diciptakan kaum kapitalis dewasa ini.
Kebutuhan kolektif
Pada pemandangan lainnya, hubungan lelaki dan perempuan dalam struktur terkecil masyarakat, kehidupan keluarga kerap masih mempertontonkan disharmonisasi struktur fungsi dan peran, masih saling bersinggungan secara merugikan. Terdapat disposisi yang juga akut, dimana peran lelaki masih terbukti mendominasi, tak jarang menumbuhkan patronase perempuan terhadap laki-laki.
Ada baiknya jika uraian di atas paling tidak diperbandingkan dengan puluhan sinetron di banyak televisi kita misalnya, dimana beberapa adegannya menayangkan gaya hidup mewah, ketika mereka mulai berkumpul di meja makan, terlihat seorang pembantu rumah tangga perempuan kebanyakan sibuk melayani majikannya terbungkuk-bungkuk. Banyak cuplikan dari sinetron, ataupun tontotan masyarakat rill sekarang justru menjadikan perempuan di posisi tersubordinasi secara terang-terangan.
Kalau tidak kekerasan dalam rumah tangga, seperti pemberitaan media belakangan ini, penghuni rumah sakit jiwa ikut melonjak drastis dua bulanan ini, seiring menumpuknya beban kaum perempuan dengan pemenuhan kebutuhan dapur yang saling berkejaran.
Memaknai "Gender", sebetulnya bukanlah sebuah pemahaman menjadikan penanda bahwa mesti berkait erat dengan soal perempuan. Namun gender, merupakan produk sistem sosial yang menandakan relasi sosial berbasis jenis kelamin. Artinya terdapat hubungan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dalam sebuah tatanan sosial. Dalam realitasnya, paparan panjang lebar di atas, masih jelas memperlihatkan adanya ketimpangan peran dan posisi lelaki maupun perempuan yang tak lain akibat tekanan ekonomi-politik dari kebijakan pemerintahan yang ditempuh memadu dengan kapitalisme global, sekaligus implikasi warisan budaya jaman lampau.
Ada tiga hal yang perlu dilakukan; Pertama, menempatkan peran dan posisi perempuan serta laki-laki bahwa dalam setiap beban kerja dan tanggung jawab yang ada berdasar nilai-nilai kolektifitas, dan egalitarianisme untuk dipraktekkan. Kedua, baik lelaki ataupun perempuan sama-sama manusia, agar berupaya memperjuangan kebebasan dari belenggu sosial penindasan kapitalisme global. Ketiga, menjadikan kedua hal di atas, melambari keberlanjutan pengubahan konstruksi gender dengan lebih menyandarkan pada kolektifitas peran dan posisi antar jenis kelamin yang berbeda.
------------ --------- --------- --------- --------- --------- -
[1]Penulis adalah Ketua Serikat Buruh Hitec Indonesia (SBHI) Bogor, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
LEAVE A COMMENT