MENGAPA KIRI DIBENCI?
Kata "kiri" sudah lama sekali menjadi sesuatu yang angker sekaligus amat sexy di negeri ini, tapi diam-diam juga dibenci. Istilah "kiri" biasanya mengacu pada sesuatu yang berkaitan dengan komunisme, sosialisme dan marxisme (walaupun ketiga hal itu tentu saja berbeda satu sama lain) atau sesuatu yang anti-kemapanan.
Sejak komunisme diberangus oleh rezim Orde Baru dan terus-menerus dijadikan the invisible enemy-musuh tak kasat mata, bahaya laten dan sebagainya-diam-diam "cap kiri" juga mengalami sofistikasi menjadi sesuatu yang cenderung dihindari sekaligus bikin penasaran.
Mungkin itu sebabnya ketika Orde Baru tumbang setelah Soeharto dipaksa turun dari singgasananya pada 1998 dan militer tak lagi bisa terlalu dominan dalam kehidupan politik di negeri ini, "buku-buku kiri" yang tadinya dilarang beredar dan hanya bisa diakses secara sembunyi-sembunyi dengan risiko hukuman penjara, diterbitkan kembali secara luas dan ternyata laris manis di pasaran.
Buku-buku karangan dan tentang Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, Che Guevara, Karl Marx dan yang nyerempet-nyerempet isu kiri menjadi lahan bisnis yang menggiurkan. Dalam waktu sekejap buku-buku semacam itu berkali-kali dicetak ulang dan tak perlu lagi diperdagangkan secara sembunyi-sembunyi.
Madilog dan Gerpolek tidak lagi menjadi barang langka. Gambar dan poster Che Guevara laris di mana-mana seiring dicetaknya bagian-bagian yang diterjemahkan dari Guerilla Warfare. Das Kapital, karya legendaris Karl Marx, diterjemahkan ke bahasa Indonesia, diterbitkan secara massal, dan bisa didapat secara terbuka. Sesuatu yang mustahil terjadi sepuluh atau dua belas tahun silam.
Setelah adem-ayem selama bertahun-tahun, tiba-tiba saja kini kita "dikejutkan" oleh peristiwa sweeping buku-buku "kiri" di toko buku Ultimus, Bandung, menyusul pembubaran diskusi oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan sebuah ormas anti-komunisme.
Peristiwa pembubaran sebuah diskusi tentang Marxisme yang diikuti penangkapan peserta diskusi dan sweeping buku-buku "kiri" oleh polisi yang terjadi di toko buku Ultimus tahun lalu (1997, pen) tentu saja bukan kabar menggembirakan bagi perkembangan demokratisasi dan intelektualitas di negeri kita. Pemberangusan buku bukanlah tindakan yang terpuji, apalagi itu diprovokasi oleh "polisi-polisi preman" yang jelas tak punya hak untuk melakukan tindakan-tindakan semacam itu.
Saya kira, daripada mengusik benih-benih persemaian intelektualitas dengan membubarkan diskusi melalui cara-cara kekerasan dan memberangus buku, akan lebih baik jika aparat keamanan lebih serius menangani maraknya gejala anarkisme kolektif yang berkedok kepentingan masyarakat, tetapi pada praktiknya justru meresahkan masyarakat.
Toh, rakyat kita sesungguhnya tidak bodoh dan bukan anak kecil yang belum mampu memilih sehingga mesti dicekoki.
Sejak komunisme diberangus oleh rezim Orde Baru dan terus-menerus dijadikan the invisible enemy-musuh tak kasat mata, bahaya laten dan sebagainya-diam-diam "cap kiri" juga mengalami sofistikasi menjadi sesuatu yang cenderung dihindari sekaligus bikin penasaran.
Mungkin itu sebabnya ketika Orde Baru tumbang setelah Soeharto dipaksa turun dari singgasananya pada 1998 dan militer tak lagi bisa terlalu dominan dalam kehidupan politik di negeri ini, "buku-buku kiri" yang tadinya dilarang beredar dan hanya bisa diakses secara sembunyi-sembunyi dengan risiko hukuman penjara, diterbitkan kembali secara luas dan ternyata laris manis di pasaran.
Buku-buku karangan dan tentang Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, Che Guevara, Karl Marx dan yang nyerempet-nyerempet isu kiri menjadi lahan bisnis yang menggiurkan. Dalam waktu sekejap buku-buku semacam itu berkali-kali dicetak ulang dan tak perlu lagi diperdagangkan secara sembunyi-sembunyi.
Madilog dan Gerpolek tidak lagi menjadi barang langka. Gambar dan poster Che Guevara laris di mana-mana seiring dicetaknya bagian-bagian yang diterjemahkan dari Guerilla Warfare. Das Kapital, karya legendaris Karl Marx, diterjemahkan ke bahasa Indonesia, diterbitkan secara massal, dan bisa didapat secara terbuka. Sesuatu yang mustahil terjadi sepuluh atau dua belas tahun silam.
Setelah adem-ayem selama bertahun-tahun, tiba-tiba saja kini kita "dikejutkan" oleh peristiwa sweeping buku-buku "kiri" di toko buku Ultimus, Bandung, menyusul pembubaran diskusi oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan sebuah ormas anti-komunisme.
Peristiwa pembubaran sebuah diskusi tentang Marxisme yang diikuti penangkapan peserta diskusi dan sweeping buku-buku "kiri" oleh polisi yang terjadi di toko buku Ultimus tahun lalu (1997, pen) tentu saja bukan kabar menggembirakan bagi perkembangan demokratisasi dan intelektualitas di negeri kita. Pemberangusan buku bukanlah tindakan yang terpuji, apalagi itu diprovokasi oleh "polisi-polisi preman" yang jelas tak punya hak untuk melakukan tindakan-tindakan semacam itu.
Saya kira, daripada mengusik benih-benih persemaian intelektualitas dengan membubarkan diskusi melalui cara-cara kekerasan dan memberangus buku, akan lebih baik jika aparat keamanan lebih serius menangani maraknya gejala anarkisme kolektif yang berkedok kepentingan masyarakat, tetapi pada praktiknya justru meresahkan masyarakat.
Toh, rakyat kita sesungguhnya tidak bodoh dan bukan anak kecil yang belum mampu memilih sehingga mesti dicekoki.
LEAVE A COMMENT