Indonesia sekarang menghadapi serangan dari negara-negara industri, terutama Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, dan Australia. Serangan tersebut berupa serangan ekonomi. Ekonomi Indonesia dipaksa dibuka selebar-lebarnya untuk barang komoditas dari Barat masuk tanpa batas. Indonesia dipaksa mengikuti “ideologi” free trade dalam sebuat situasi ekonomi yang kuat, yaitu kekuatan ekonomi transnational corporations, International Monetary Fund dan Bank Dunia bisa memanfaatkan “kebebasan” tersebut untuk menguras habis kekayaan Indonesia.
Serangan ini sebenarnya sedang berlangsung terhadap semua elemen “Dunia Ketiga”. Namun, serangan ini juga melahirkan arus balik. Dan arus balik perlawanan terhadap IMF, World Bank, dan transnational corporations (konglomerat negara kaya) menunjukkan bahwa konsep “Dunia Ketiga” yang dirumuskan oleh Mao Tse Tung tidak menggambarkan situasi yang sebenarnya. Ternyata yang lebih tepat adalah konsep yang dirumuskan Bung Karno pada tahun 1960-an. Memang betul bahwa analisis-analisis Mao Tse Tung meninggalkan istilah ”Dunia Ketiga” dalam pembendaharan kata politik dunia sampai sekarang. Namun, ternyata adalah konsep Bung Karno yang lebih akurat berhasil menangkap perkembangan politik global era millenium baru. Mao membagi dunia ke dalam tiga kubu. Dunia pertama adalah dunia negara-negara industri kapitalis. Dunia kedua ialah negara-negara sosialis, di blok Uni Soviet. Dunia ketiga adalah negara-negera sedang berkembang, mantan koloni yang juga, menurut Mao, merupakan motor penggerak perubahan dunia. Sukarno tidak menerima analisis Mao. Dengan lebih cermat, ia melihat dinamika revolusioner di lapangan pergerakan sendiri. Bung Karno membagi dunia ke dalam hanya dua kubu. Pertama, kubu OLDEFO atau Old Emerging Forces, terdiri dari pemerintah-pemerintah negara industri kapitalis bersama-sama elite feudal dan kompradore di negara-negara sedang berkembang. Di sisi lain terdapat NEFO, atau New Emerging Forces, yang merupakan pemerintah, bangsa, dan rakyat progresif negara sedang berkembang serta bersama-sama rakyat-rakyat progresif di negara industri kapitalis.
Pada zaman sekarang peta ini lebih jelas. Blok Soviet sudah runtuh. Pemerintah-pemerintah eks blok sosialis yang masih ada sudah menjadi bagian dari pemerintah-pemerintah progresif dunia negara sedang berkembang. Pemerintah Kuba dan Vietnam, misalnya, lebih bergerak sebagai bagian dari perlawanan “dunia ketiga” daripada sebuah blok sosialis. Selain Kuba dan Vietnam juga ada negara-negara ¨dunia ketiga¨ lain yang ambil peranan melawan kontrol OLDEFO. Pemerintah Venezuela adalah contoh yang baik. Bahkan, meskipun hanya dalam hal-hal tertentu saja, cukup banyak pemerintah negara-negara sedang berkembang sudah mulai membangkang. Malaysia, misalnya, dalam hal kontrol mata uangnya.
World Trade Organisation (WTO) juga diwarnai oleh perlawanan dunia sedang berkembang dalam hal-hal seperti kontrol OLDEFO terhadap hak paten dan lain sebagainya. Di dunia negara industri maju sendiri dalam lima tahun terakhir ini juga sangat terasa mulai berkembang new emerging forces di dalam masyarakatnya sendiri.
Sejak demonstrasi-demonstrasi di Seattle di Amerika Serikat dua tahun yang lalu gerakan “antiglobalisasi” sudah meluas ke mana-mana di dunia negara-negara industri. Demonstrasi-demonstrasi massal yang menuntut penghapusan utang luar negeri Dunia Ketiga menjamur di berbagai negara-negara di Amerika Utara, Eropa, dan juga di Australia. Demonstrasi-demonstrasi ini juga melawan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) yang memaksakan paket kebijakan neo-liberal ke seluruh negara Dunia Ketiga. Gerakan antiglobalisasi ini pada hakekatnya merupakan gerakan solidaritas dengan rakyat negara-negara sedang berkembang. Sekaligus melawan elite-elite mapan di Barat itu sendiri. Tentu saja gerakan antiglobalisasi ini bukan gerakan yang melawan semakin meluasnya dan semakin intensnya hubangan antarnegara dalam segala bidang. Gerakan anti-globalisasi yang sedang berkembang ini melawan mengglobalnya upaya kaum OLDEFOs untuk memaksakan kebijakan neo-liberal yang menyerahkan segala hal ke kontrol sektor swasta demi laba atau profit. Tuntutan pokok gerakan antiglobalisasi ini adalah pembatalan utang luar negeri dunia ketiga, pembubaran IMF dan WB, dan penghentian terhadap semua proses penjualan aset publik pada swasta. Kekuatan NEFOs abad ke-21 sudah mulai berkumpul untuk mencari strategi dan wadah untuk teruskan perjuangannya. Sudah dua kali gerakan-gerakal sosial, LSM-LSM, aktivis-aktivis politik dari seluruh dunia sudah berkumpul di kota Porto Allegre di Brasil dan menyelenggarakan World Social Forum.
Dalam World Social Forum bulan Januari yang lalu lebih dari 60 ibu aktivis berkumpul dari seluruh dunia untuk membicarakan strategi untuk menghadapi IMF, WB, serta Washington, London, Berlin, Tokyo, dan Canberra. Bulan Januari mendatang akan diselenggarakan juga Asia Social Forum yang pertama, disusul oleh Asia Pacific Anti-Military Social Forum di Manila pada bulan Augustus, 2003.
Dulu Bung Karno berusaha mendirikan CONEFO atau Conferention New Emerging Forces. Sebenarnya World Social Forum di Porto Allegre juga merupakan usaha ke dalam arah yang sama. Prosesnya memang belum selesai. Masih ada banyak perdebatan-perdebatan yang berlangsung. Masih cukup banyak kekuatan-kekuatan yang belum masuk ke proses ini. Proses meluasnya wadah WSF ini persis merupakan proses penguatan NEFO yang dibayangkan Sukarno. Sebenarnya ini adalah proses membangun kembali sebuah front antiimperialisme.
NEFO di Indonesia
Dalam konsep Bung Karno dulu negara dan rakyat Indonesia merupakan bagian dari NEFO. Namun, dalam 40 tahun terakhir ini situasi sudah berubah. Kekuatan OLDEFO sudah berhasil merebut pengaruh dominan dalam pemerintahan dan negara Indonesia. Ini mulai ketika Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI) yang sekarang bernama Consultative Group on Indonesia (CGI), didirikan pada tahun 1967.
Lembaga ini merupakan kumpulan dari semua negara industri maju imperialis serta IMF dan WB. Pemerintah Orde Baru yang mengikuti strategi pembangunan yang menggantungkan diri pada utang luar negeri dan investasi asing harus melaporkan hasil kerjanya setiap tahun pada IGGI/CGI. Baru kalau lembaga OLDEFO ini puas dengan garis kebijakan pemerintah Soeharto, pinjaman disalurkan ke Indonesia. Sistem ini terus berlangsung sampai sekarang, hanya sejak krismon, IMF sendiri yang ambil alih kontrol OLDEFO terhadap Indonesia. CGI dan WB mengambil posisi kedua. Selama periode 40 tahun ini juga kesadaran tentang proses eksploitasi dan kontrol asing terhadap ekonomi Indonesia sangat berkurang. Orde Baru dengan beking Barat terus berpropaganda bahwa intergrasi ekonomi Indonesia dengan ekonomi dunia, melalui kerja sama dengan IGGI, IMF, WB dan investasi asing adalah satu-satunya cara membangun Indonesia.
Strategi ini membawa Indonesia ke krismon 1997. Strategi ini juga tidak menyiapkan Indonesia untuk menghadapi era sekarang di mana investasi modal untuk produksi justru semakin terpusat di negara-negara industri dengan makin sedikit investasi yang mengalir ke dunia sedang berkembang. Tetap juga pemerintah Indonesia sekarang berpropaganda bahwa IMF dan investasi asing adalah jalan keluar krisis, meskipun semua angka-angka menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan investasi asing di Indonesia. Kesadaran antiimperialisme, kesadaran menolak kontrol asing di bidang ekonomi, saat ini mulai bangkit lagi. Kesadaran ini juga sedang melahirkan kembali kekuatan NEFO dalam negeri. Sebenarnya proses ini sudah mulai tahun 1989 dengan gerakan melawan proyek Bank Dunia untuk membangun bendungan Kedungombo. Terus berkembang sebuah gerakan perlawanan terhadap Orde Baru. Perlawanan tersebut sebenarnya berfokus pada perlawanan terhadap kediktatoran Soeharto dan militerisme. Namun, bagaimanapun juga itu merupakan perlawanan terhadap mekanisme kontrol Barat, kontrol OLDEFO terhadap Indonesia. Memang Orde Baru adalah alat bukan saja dari keluarga diktator dan konglomerat, tetapi dari kekuatan OLDEFO asing. Betapa banyak keuntungan diraup oleh perusahan-perusahan asing dan bank asing selama Orde Baru, tetapi bagi rakyat Indonesia hanya meninggalkan krismon saja.
Yang sekarang sering disebut sebagai “civil society”, atau kadang-kadang “ornop”, atau gerakan sosial, dan juga gerakan mahasiswa, serikat buruh dan tani, organisasi perempuan yang berkembang sebagai bagian dari perlawanan terhadap Orde Baru merupakan inti daripada NEFO baru di Indonesia. Sebenarnya juga cukup banyak kekuatan-kekuatan NEFO yang sedang berkembang di dalam tubuh organisasi lama juga. Di kalangan grass-roots Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan kalangan pemuda mahasiswa Nahdlatul Ulama jiwa NEFO juga cukup kuat. NEFO Indonesia sendiri sekarang berdiri di persimpangan jalan. Kekuatan ini sudah berkembang cukup luas dan kuat tetapi sering berkembang spontan, mengangkat satu isyu saja, berpandangan lokal, atau belum mau melihat keluar. Situasi ini bisa dimengerti. Semua perlawanan ini berkembang di dalam suatu situasi dan suasana tanpa ideologi dan tanpa kebebasan.
Usul-usul yang baru-baru ini muncul untuk menyelenggarakan sebuah kongres rakyat sangat tepat untuk situasi sekarang di Indonesia. Sudah waktunya semua elemen-elemen perlawanan terhadap Orde Baru dan semua elemen-elemen pembaruan dan kerakyatan berkumpul untuk mencari strategi menghadapi OLDEFO dan mengantar Indonesia keluar krisis ciptaan strategi Orde Baru dan CGI-IMF. Memang sulit membayangkan bentuk dan hasil sebuah kongres seperti ini. Sebuah kongres rakyat harus bisa mengumpulkan semua elemen sosial perlawanan yang seluas-luasnya. Pasti akan ada banyak perdebatan. Mungkin pertama kali sidang belum tentu semua problem akan terpecahkan. Namun, sebuah kongres rakyat seperti itu akan berjasa besar dan memulai proses penguatan kekuatan NEFO Indonesia. Banyak negara dan wilayah sedang mengusahakan menyelenggarakan pertemuan serupa, mengikut contoh World Social Forum di Brasil.
Sebuah kongres rakyat Indonesia akan sekaligus menghidupkan kembali semangat revolusi nasional Indonesia sebagai penerusan ide Konferensi NEFO Indonesia dan membantu rakyat Indonesia bergabung dengan kekuatan NEFO internasional yang sedang bangkit melalu proses World Social Forum. Dalam proses World Social Forum yang diutamakan ialah gerakan-gerakan sosial yang berakar ke massa dan mampu memobilisasikan massa. Sesungguhnya ini pun merupakan penerusan konsep revolusi nasional Indonesia: machtsvorming dan massa actie. (Max Lane)
------------------------------------------------
Penulis adalah pengamat Indonesia, Visiting Fellow, Centre for Asia Pacific Social
Transformation Studies, University of Wollongong, Australia.
(Sumber: Sinar Harapan, 19 Juli 2002)
14.27
Categories:
Artikel.
Author: negerisenja
LEAVE A COMMENT