DEMOKRASI: Sebuah Malapetaka?
Di lapisan sementara orang desa di Indonesia, ungkapan di bawah ini juga telah agak lama kita dengar: "Kehidupan terasa lebih nyaman di era Orde Baru. Pupuk tidak sulit, beras melimpah, pengangguran tidak seburuk seperti sekarang, dan ada rasa aman." Pujian seperti ini menjadi mencuat karena era reformasi masih belum (atau tidak) berhasil memenuhi janji-janjinya untuk menegakkan keadilan dan menumpas KKN. Keadilan masih sangat jauh dan KKN masih tetap subur, terang-terangan atau secara diam-diam. Memang rakyat kecil dan sebagian tokoh yang frustrasi dengan kondisi bangsa yang belum juga membaik, menjadi putus asa dengan sistem demokrasi plus politisi yang berwajah kumuh dan lapar. Mereka ingin agar keadaan cepat berubah ke arah yang lebih baik, sementara demokrasi tidak dapat memenuhi harapan itu. Lalu ingin kembali ke masa lalu yang dibayangkan serba elok.
Jika kita berunding dengan gagasan politik yang sangat menonjol di kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional di Indonesia, tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini kecuali tegaknya sebuah demokrasi yang sehat dan kuat. Sistem inilah yang kita cobakan segera setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Tetapi alangkah sukarnya cita-cita luhur itu dipraktikkan. Dalam rentang waktu lebih 62 tahun kita merdeka, kekuatan pembunuh demokrasi atas nama demokrasi (Terpimpin dan Pancasila) telah pula mendapat peluang untuk berkuasa di Indonesia, karena demokrasi dinilai gagal. Tetapi ujungnya sama: disaster atau malapetaka.
Jika kenyataan memang demikian, semuanya berakhir dengan malapetaka, lalu sistem apa lagi yang sesuai dengan kondisi Indonesia yang masih saja merana sampai sekarang ini? Bagi saya jawabannya sederhana. Saya sepenuhnya berada di belakang gagasan tokoh-tokoh pergerakan nasional bahwa demokrasi yang sehat harus menjadi hari depan Indonesia. Tanpa demokrasi, percuma kita menjadi merdeka. Bukankah demokrasi tidak saja menjamin kemerdekaan bangsa, tetapi juga kemerdekaan setiap warga. Yang menjadi masalah sejak awal adalah kualitas kepemimpinan politik di Indonesia yang sempit hati dan mudah berpecah.
Di era reformasi, keadaannya jauh lebih kronis. Di samping sempit hati dan sempit akal, juga lapar. Karena lapangan kerja menyempit, maka politik dijadikan lapangan kerja dengan 1001 harapan untuk perbaikan ekonomi. Apalagi di dunia eksekutif dan legislatif, lapangan kerja itu sangat menggiurkan bagi mereka yang beruntung. Tetapi bagi mereka yang buntung, politik bisa menjadi sebuah malapetaka pula.
Ya, sampai di sinilah baru kualitas peradaban kita sebagai bangsa merdeka sejak 1945. Namun ini adalah bangsa kita yang tidak boleh dibiarkan terus meluncur ke posisi yang semakin memalukan. Bangsa ini harus kita bela, dengan jalan melontarkan kritik terus menerus terhadap pemimpin dan elite yang tidak becus dan tidak juga siuman, tanpa rasa takut. Di sinilah pentingnya demokrasi itu: memberi kebebasan kepada setiap orang untuk bersuara dalam batas-batas konstitusi dan kesopanan.
Sistem otoritarian di mana pun di muka bumi pasti akan menyumbat mulut warga untuk bersuara. Pilihan kita bukan antara demokrasi atau lapar, tetapi demokrasi plus keadilan dan kemakmuran!
Jika kita berunding dengan gagasan politik yang sangat menonjol di kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional di Indonesia, tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini kecuali tegaknya sebuah demokrasi yang sehat dan kuat. Sistem inilah yang kita cobakan segera setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Tetapi alangkah sukarnya cita-cita luhur itu dipraktikkan. Dalam rentang waktu lebih 62 tahun kita merdeka, kekuatan pembunuh demokrasi atas nama demokrasi (Terpimpin dan Pancasila) telah pula mendapat peluang untuk berkuasa di Indonesia, karena demokrasi dinilai gagal. Tetapi ujungnya sama: disaster atau malapetaka.
Jika kenyataan memang demikian, semuanya berakhir dengan malapetaka, lalu sistem apa lagi yang sesuai dengan kondisi Indonesia yang masih saja merana sampai sekarang ini? Bagi saya jawabannya sederhana. Saya sepenuhnya berada di belakang gagasan tokoh-tokoh pergerakan nasional bahwa demokrasi yang sehat harus menjadi hari depan Indonesia. Tanpa demokrasi, percuma kita menjadi merdeka. Bukankah demokrasi tidak saja menjamin kemerdekaan bangsa, tetapi juga kemerdekaan setiap warga. Yang menjadi masalah sejak awal adalah kualitas kepemimpinan politik di Indonesia yang sempit hati dan mudah berpecah.
Di era reformasi, keadaannya jauh lebih kronis. Di samping sempit hati dan sempit akal, juga lapar. Karena lapangan kerja menyempit, maka politik dijadikan lapangan kerja dengan 1001 harapan untuk perbaikan ekonomi. Apalagi di dunia eksekutif dan legislatif, lapangan kerja itu sangat menggiurkan bagi mereka yang beruntung. Tetapi bagi mereka yang buntung, politik bisa menjadi sebuah malapetaka pula.
Ya, sampai di sinilah baru kualitas peradaban kita sebagai bangsa merdeka sejak 1945. Namun ini adalah bangsa kita yang tidak boleh dibiarkan terus meluncur ke posisi yang semakin memalukan. Bangsa ini harus kita bela, dengan jalan melontarkan kritik terus menerus terhadap pemimpin dan elite yang tidak becus dan tidak juga siuman, tanpa rasa takut. Di sinilah pentingnya demokrasi itu: memberi kebebasan kepada setiap orang untuk bersuara dalam batas-batas konstitusi dan kesopanan.
Sistem otoritarian di mana pun di muka bumi pasti akan menyumbat mulut warga untuk bersuara. Pilihan kita bukan antara demokrasi atau lapar, tetapi demokrasi plus keadilan dan kemakmuran!
LEAVE A COMMENT