KAPITAL PERAMPOK


Adapun sifat kapitalisme di jajahan, seperti Indonesia dan Asia lain, adalah berlainan sekali dengan kapitalisme di Belanda dan Eropa lain. Disana lahir dan majunya kapitalisme itu terbawa oleh keperluan negeri sendiri, sedangkan di sini lahir dan majunya kemodalan itu terbawa oleh keperluan bangsa asing. Sebab itu di Eropa majunya kapitalisme itu dengan jalan menurut alam, sedangkan di Indonesia buatan. Berpadan dengan hal itu, Kapitalisme di Eropa ada sehat dan sempurna, sedangkan yang di Indonesia terperkosa, seolah-olah sepokok kayu yang kena kelindungan. Kapitalisme di Eropa membagi negeri atas kota dan desa. Di kota terdapat perusahaan atau industri dari kain, besi, batu, kertas dll. Sedangkan di desa terdapat gandum, sayur, sapi, domba dan hasil buat lain-lain makanan. Jadi dipukul rata kota memperusahakan barang pabrik dan desa mengadakan hasil tanah dan ternak. Bagian pekerjaan di kota dengan desa itu bertambah terang sekali pada negeri yang sangat maju permodalannya. Tentulah hasil pabrik di kota itu, gunanya, terutama buat penduduk kota sendiri. Sisanya itu ditukarkan dengan makanan yang dihasilkan oleh desa. Begitulah kain, pisau, perkakas rumah, baja, dll yang dibikin di kota ditukar dengan gandum, sayur, daging, dll yang dihasilkan di desa, yakni dengan sisa yang dimakan oleh penduduk desa

Di Indonesia juga akan bisa begitu, kalau Belanda tak datang dan membunuh perusahaan kecil-kecil, buat membikin kapal, kain, barang-barang besi, seperti sudah ada di Tuban, Gresik, dll. Perusahaan kecil-kecil itu juga akan jadi besar, memakai uap dan listrik seperti di Eropa dan Amerika. Kota-kota Indonesia juga akan menarik penduduk desa dengan lekas dan bertambah hari bertambah maju penduduk, pabrik dan kaum buruhnya. Tetapi sebab Belanda dengan hukum melarang membuat kapal dan membunuh perusahaan anak negeri dengan memasukkan barang pabrik yang murah harganya, maka kota dan desa kita jadi lain sifatnya dari kota di Eropa. Kota kita tidak ada yang menghasilkan, kain, bajak dan perkakas lain buat desa-desa, karena semua barang, ini dimonopoli atau diborong oleh Belanda. Desa kita tidak buat mengadakan hasil untuk penduduk kota, melainkan terutama buat tebu, teh, kopi, getah d. s. g. bukan buat keperluan negeri dan Bumiputera, melainkan buat untung si Pengisap yang tidur di Belanda. Sebab itu desa dan kota kita satu dengan lainnya tidak bergandengan dan tali bertali seperti pada suatu negeri yang sehat ekonominya, melainkan keduanya buat pengisi perut besar si Lintah Darat yang tidur di Belanda itu saja. Berhubung dengan hal ini, maka majunya kapitalisme di negeri kita jadi tak sehat. Sebab perusahaan di negeri kita tidak buat keperluan anak bumi putera sendiri, maka barang yang perlu buat hidup kita, harus dibeli dari negeri lain dengan harga sesukanya orang lain itu saja. Dan oleh karena tanah di Jawa terdesak oleh kebun-kebun besar, maka beras, yakni nyawa kita, mesti datang dari negeri lain.

Sudahlah terang, bahwa total export (harga barang keluar) yang pada masa jajahan Belanda tahun 1922 sama sekali dimakan oleh Lintah Darat Belanda yang memonopoli sekalian perusahaan besar-besar di Indonesia ini. Sedangkan di jajahan lain untung dari import dan export itu ada sebagian jatuh di tangan anak negeri, maka di Indonesia yang sangat subur dan kaya ini, semuanya keuntungan perniagaan dan hasilnya perusahaan dan tanah sama sekali terbang ke perutnya Lintah Darat yang tidur, palsir atau mondar-mandir di Belanda. Sisanya yang terlempar kepada bumiputera, gunanya sekedar buat hidup sebentar, seperti kuda atau kerbau, yang dipakai penarik kereta, juga mesti diberi makan. Sebab kapitalisme Indonesia gunanya buat memenuhi keperluan bangsa asing, yang jauh tinggalnya itu, maka keadaan dan majunya kapitalisme Indonesia juga semata-mata menurut keperluan bangsa asing yang tinggal di negeri asing itu. Seseorang mesti menyewakan tanah buat gula, getah dan teh bahkan menjadi kuli Belanda kalau mau dapat untung. Rakyat Indonesia tak bisa dapat pabrik kain, pabrik mesin dan kapal, sebab Belanda takut perusahaan kain sana akan jatuh, dan juga saudagar-saudagar Belanda, pabrik kapal dan perusahaan-perusaha an kapal yang mengangkut barang import dan export dari Indonesia ke Belanda akan turut jatuh. Sebab itu Indonesia mesti tinggal jadi landbow-land atau negeri-pertanian tidak negeri perusahaan atau industri-land. Penduduknya mesti tinggal mundur (pasif) dan mudah ditindas. Tiadalah seperti pada negeri industri, yang mempunyai buruh yang lebih maju dan lebih aktif dan tak gampang ditindas. Selama Indonesia tinggal jadi jajahan, maka ia tak akan bisa memajukan ekonomi dan perusahaannya sebagaimana yang baik buat dirinya senriri, karena ia terpaut oleh Lintah Darat Belanda, yang tak memperdulikan nasib Rakyat Indonesia. (Antonov Yusran)