GMNI : Kegagalan Merumuskan Ideologi


Berbicara mengenai Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), diskursus yang muncul tentang heroisme semu, konflik organisasi, kegelisahan dan fragmen mimpi politik dari kelompok yang merepresentasikan diri sebagai nasionalis muda. Ironisnya, napas yang sama masih mengemuka pada saat organisasi mahasiswa ini telah berusia 53 tahun. Persoalan yang muncul masih berkutat pada konflik organisasi dan keterpenjaraan dalam romantisme sejarah.

Konflik semakin mengental dalam bentuk perpecahan. Pada tingkat presidium, kepengurusan terbelah antara presidium versi Kongres Kupang 1999 dan Kongres Luar Biasa di Semarang 2000.

Pada tingkat implementasi gerakan, yang lebih banyak mengemuka adalah model aksi di jalanan. Sebuah pilihan yang lebih banyak didasari pada euforia politik pascareformasi, mengikuti tren hiruk pikuk aksi mahasiswa dan terlihat sekadar mengisi kebutuhan aktivitas organisasi.

Dengan demikian, tidak mengherankan jika yang kemudian muncul adalah tipologi gerakan politik semu, miskin gagasan dan terjebak pada karakter aktifisme belaka.

Keterpenjaraan dalam romantisme masa lalu mengental dalam pola kaderisasi dan struktur gerakan yang tidak bergeser dari simbol-simbol kebesaran di masa silam. Hal itu terlihat dari model rekrutmen dan pendidikan kader yang lebih mempertimbangkan kuantitas daripada kualitas.

Tidak aneh, jika kemudian para kader lebih mengedepankan hal-hal yang berbau seremonial dan pilihan aktivitas yang menawarkan "gebyar'' serta ilusi tentang gerakan politik mahasiswa. Hal-hal yang menyangkut ruang pergulatan pemikiran nyaris tidak tersentuh. Pada akhirnya, produk yang dihasilkan adalah kader-kader karbitan yang lemah secara intelektual, miskin pemahaman ideologi dan cenderung bersikap komprador pada penguasa.

Refleksi Total

Meski demikian, terasa lebih memprihatinkan melihat situasi itu tidak juga diimbangi dengan kemunculan kesadaran politik dari para aktivisnya untuk merefleksi problem mendasar yang diidap organisasi.

Hal lainnya adalah kesiapan menerima kritik. Jika kesiapan itu tidak ada, refleksi tersebut justru berpotensi menumbuhkan konflik baru bagi kelompok yang tidak sepaham. Pilihan itu juga cenderung tidak populer serta jauh dari ilusi kekuasaan politik. Dengan demikian, refleksi menjadi pilihan yang tidak menarik.

Ada beberapa hal yang sepatutnya dijadikan materi refleksi. Pertama, perubahan tata politik yang berimbas pada keberadaan organisasi dan desain gerakan.

Sejak dibukanya kran kebebasan, salah satunya adalah kebebasan mendirikan partai politik, nilai strategis ormas kini praktis menurun drastis. Kelompok-kelompok kepentingan akan cenderung mengakses langsung kepada partai politik daripada ormas. Logikanya parpol lebih menawarkan kompensasi politik yang riil daripada yang dapat diberikan ormas (terutama ormas kemahasiswaan).

Kedua, perumusan ideologi sebagai basis gerakan. Ideologi dalam struktur gerakan politik dan sosial kemasyarakatan memiliki beberapa fungsi. Yaitu sebagai alat membangun rasionalitas hubungan antara pemimpin dan umatnya.

Fungsi lainnya, ideologi memberikan perekat, landasan material dan legitimasi bagi gerakan serta sebagai identitas kelompok politik. Dalam sisi ideologi inilah, GMNI telah mengalami perjalanan spiritual panjang.

Dari sejarah kita melihat, penempatan marhaenisme sebaga ideologi GMNI tidak pernah diikuti kemauan untuk mengeksplorasi ideologi itu ke dalam tindakan nyata.

Hal lain yang tidak disadari oleh sebagian besar kader baru GMNI adalah marhaenisme merupakan ideologi yang belum selesai terbangun secara utuh. Dalam sejarah ideologi itu, marhaenisme mengalami penafsiran yang terus berkembang sejalan dengan situasi dan kondisi polisik saat itu.

Pada awalnya, Bung Karno memfokuskan marhaenisme pada perjuangan komunitas rakyat yang memiliki alat produksi terbatas.

Keterbatasan alat produksi itu, ditambah dengan variabel struktur ekonomi dan politik yang eksploitatif telah menciptakan kantung-kantung kemiskinan rakyat. Kemudian, tatkala Bung Karno dekat dengan PKI, secara global memaknai marhaenisme sebagai marxisme.

Pada masa transisi kekuasaan dari Bung Karno ke Jenderal Soeharto, para pemimpin PNI menerjemahkan marhaenisme sebagai sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan Ketuhanan yang Maha Esa. Bahkan kemudian memaksakannya pemaknaan ideologi itu sebagai satu hal yang sama dengan Pancasila.

Dan pada masa konsolidasi kekuasaan Orba, pemaksaan azas tunggal mengakibatkan ideologi itu masuk ke dalam penjara kematian. Kemudian, pada saat arus perubahan menenggelamkan kekuasaan Orba dan menempatkan kelompok politik nasionalis sebagai penguasa, seperti memberikan peneguhan bagi mitologi romantisme ideologi yang selama ini menyelimuti kaum nasionalis, termasuk GMNI.

Marhaenisme yang selama sekian waktu diletakkan dalam peti kematian, oleh kaum nasionalis dimunculkan kembali. Sayangnya, pemunculan itu tidak didahului kajian mendalam tentang ideologi tersebut.

Solusi

Melihat persoalan tersebut, jika menginginkan organisasi mahasiswa ini tetap eksis, perubahan merupakan hal mutlak yang harus dilakukan kader baru GMNI. Perubahan itu meliputi desain organisasi dan gerakan. Dalam sisi ini pola gerakan yang mengandalkan aksi-aksi jalanan bukan lagi pilihan strategis.

Pilihan yang tepat adalah membangun desain gerakan intelektual dengan menitikberatkan pada reproduksi ide-ide brilian bagi pembaruan masyarakat. Hal itu harus didukung dengan membangun jaringan ke dalam setiap lini politik sebagai jalan untuk sosialisasi dan kampanye politik bagi ide-ide yang dihasilkan.

Dengan demikian, desain organisasi yang mendukung pola gerakan itu adalah organisasi kader yang memiliki anggota tidak terlalu besar, dapat melakukan kerja politik secara efektif dan memiliki kualitas yang lebih dari kader organisasi lainnya.

Untuk tidak terjebak ke dalam model kelompok studi, setiap aktivis GMNI harus mau melakukan kerja-kerja politik sampai ke massa akar rumput.

Juga perlu perumusan ideologi sebagai basis material gerakan politik GMNI. Marhaenisme sebagai sebuah ideologi memuat semangat pembebasan segala proses dehumanisasi dalam sejarah kemanusiaan dan penindasan dalam struktur sosial kemasyarakatan.

Selain itu, marhaenisme telah memiliki seperangkat tatanan lain yang disyaratkan bagi keabsahan sebuah ideologi, yaitu ajaran dan cara-cara pencapaian. Namun, sisi lain yang perlu disadari adalah ideologi itu, sebagaimana yang dikemukakan Bung Karno masih berbicara dalam tataran global. Thesis atau konsepsi tentang marhaenisme hasil kongres Partindo 1932 yang mencoba mengeksplorasi ideologi itu juga belum menyentuh aspek operasional dari ideologi.

Belajar dari sejarah kita dapat melihat konsepsi marhaenisme cenderung diterjemahkan menurut selera penguasa. Di samping itu dalam perjalanan ideologi itu telah mengondisikan kebekuan dalam pengembangan ajaran-ajarannya. Dengan demikian, kalau kader baru GMNI menganggap marhaenisme sebagai rumusan final, merupakan kesalahan fatal.

Karena itu, eksplorasi terhadap marhaenisme mutlak dilakukan, baik dari konsepsi dasar maupun varian-varian yang direproduksi dari gagasan besar Soekarno itu. Untuk mengeliminasi sikap-sikap subyektif dan sentimental dalam proses eksplorasi, kader GMNI perlu bersikap ontologis dalam melakukan kajian terhadap marhaenisme. (Ichwan .Ar)